Minggu, 23 Agustus 2015

Alasan Elanto Hadang rombongan MOGE

Aksi Elanto Wijoyono menghadang rombongan moge yang tengah melewati perempatan Condong Catur, Sleman, Yogyakarta ramai di media sosial (medsos). Elanto punya alasan tersendiri ketika melakukan tindakan ini.

Dirilis Rappler yang merupakan ungkapan langsung dari Elanto, menurutnya ada dua poin penting. Pertama, penggunaan pengawalan sudah diatur di Undang-Undang No 22 tahun 2009 mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan hak utama menggunakan jalan. Rombongan motor tidak termasuk salah satunya.
Dari sisi legal, mungkin mereka bisa mencari alasan pembenaran, tapi dari sisi kepatutan, Elanto sebagai warga memandang itu sebagai penyalahgunaan. Kedua adalah soal konvoinya. Konvoi apapun, tidak hanya moge. Cenderung ada pelanggaran pada konvoi, seperti konvoi parpol, konvoi suporter dan sebagainya, baik dengan pengawalan maupun tidak.

Seperti yang sering terlihat di jalan, khususnya di Jogja, pelanggaran cenderung dibiarkan oleh polisi dari tahun ke tahun, dan malah diberi ruang lebih luas di jalan raya dengan meminggirkan hak pengguna jalan lain. Dari dua hal itu, sasaran tembak kritiknya memang polisi.

Pencegatan itu bukan aksi spontan. Sejak tahun lalu, saya sudah bicara dengan Direktur Lalu Lintas Polda DI Yogyakarta untuk mengatur konvoi kendaraan bermotor. Secara normatif dia menyatakan akan mengatur, tapi secara konkret tidak ada solusi di lapangan.

Perjalanan Elanto hari itu dimulai dengan mendatangi pos polisi di Jombor untuk meminta mereka mengatur konvoi, tapi petugas lapangan memintanya ke Dirlantas. Sabtu siang, Elanto ke kantor Dirlantas Polda DIY, menunggu satu jam tapi tak ditemui, hanya bertemu asistennya.

Elanto sebagai warga melaporkan keluhan, berharap ada solusi dari polisi. Ia mengatakan jika di lapangan petugas tidak menindak pelanggaran, saya akan menegur langsung.

Mereka berjanji akan mengatur sesuai aturan. "Saya kembali mengatakan pada petugas di pos polisi itu (ada 5-6 orang petugas) jika mereka tak mengatur, saya akan menegur secara langsung. Tak sampai 10 menit, konvoi utama lewat, seperti yang ada  rekaman video, " kata Elanto.

Awalnya polisi di pos hanya memperlambat. Kemudian kami maju dan menghadang rombongan motor. "Polwan yang mengawal diam saja saat dicegat, respons agak berlebihan justru datang dari pengendara, termasuk satu pengendara berbadan besar yang berdiri berhadapan dengan saya.

Pria ini percaya jika protes dilakukan di ruang publik, banyak yang mengawasi dan banyak pula yang mengingatkan. Tak hanya pada kasus ini, tapi juga untuk kasus yang lain. Apapun yang terjadi, selalu Ia bagi ke teman dan warga.
Pesan sederhananya adalah: ini memang nampak sepele, cuma soal lampu merah dan soal pengawalan. Tapi kita bicara soal prinsip hukum. Ada aturan, tapi sudah tidak ditegakkan. Apalagi pelakunya termasuk aparat kepolisian, walaupun mereka bisa berlindung di balik pasal karet. "Saya sendiri berpikir ini tak pantas, seharusnya warga tak perlu sejauh ini ketika aparat bisa berfungsi," katanya.

Semua yang terjadi di ruang kota dan wilayah saling terkait, termasuk semua yang terjadi di ruang publik dan di jalan raya. Konvoi ini pun sebenarnya berhak memakai jalan, karena semua orang berhak membuat kegiatan. Tapi tentu saja aktivitas itu tidak boleh menganggu orang lain.

Di situlah perizinan, pengawasan dan sanksi seharusnya berperan dalam tata kelola pemerintahan wilayah. Tapi yang kita lihat khususnya di Jogja, yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan prinsip yang ada di aturan dan hukum.

Konvoi ini masih akan ada sampai Senin, tapi Elanto tak merasa perlu melakukan pencegatan lagi. Ia ingin melihat apakah aparat berfungsi. Kalau tidak, keterlaluan sekali jika aparat baru melakukan fungsinya setelah ada tekanan warga.

Siapa yang harus mengawal itu semua? Dalam dunia yang ideal, harapan ada di wakil rakyat. Tapi kita tahu, kita tak bisa mengandalkan mereka. Justru mereka jadi bagian dari masalah itu sendiri. Maka solusinya adalah gerakan warga.

Dalam jangka panjang, Elanto sebagai warga Jogja ingin ikut membangun modal sosial Jogja, membantu menyambung antar inisiatif. Siapapun bisa melakukan itu, siapapun bisa melanjutkan. "Tentu saja itu harus rutin dan harus bergulir terus, entah sampai kapan, mungkin selamanya," tutupnya.

Sumber:metrotvnews.com

0 komentar: